Cari Artikel

MK Hapuskan Presidential Threshold Setelah 36 Kali Digugat

Hukum & Politik | 06 Jan 2025 17:28 WIB

Penulis: Mishbah Nur Ihsan al Hafis

MK Hapuskan Presidential Threshold Setelah 36 Kali Digugat
Sumber Gambar: Hukumonline.com

AndalasNews (1/3) - Amar putusan MK akhirnya memutuskan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia 1945. Putusan MK nomor 62/PUU-XXII/2024 ini sekaligus menandai penghapusan pasal yang membatasi partai untuk mencalonkan presiden.


Aktivis pemilu, Titi Anggraini mengatakan, putusan ini muncul setelah 36 gugatan dilayangkan ke MK. Gugatan kali ini dilayangkan oleh empat orang mahasiswa hukum UIN Sunan Kalijaga, Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.


Ketua MK, Suhartoyo, beserta sejumlah hakim konstitusi lain bersepakat menilai ada unsur ketidakadilan yang timbul dari pasal tersebut. “Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Suhartoyo saat membacakan hasil putusan.


Hakim lain menilai aturan ambang batas tersebut mengurangi keleluasaan hak konstitusi partai, yang dijamin oleh undang-undang. 


"Dengan menggunakan hasil pemilu anggota DPR sebelumnya, disadari atau tidak, partai politik baru yang dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu serta-merta kehilangan hak konstitusional untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden," tutur Wakil Ketua MK, Saldi Isra.


Ia juga menambahkan kalau aturan tersebut bertentangan dengan prinsip keadilan, sebab rawan menimbulkan benturan kepentingan bagi partai. Selain itu, hal ini juga membatasi hak konstitusi dalam hal mendapatkan alternatif pasangan calon yang memadai. Selama ini, pemilu justru menajamkan polarisasi kebhinekaan, karena hanya mengusung dua paslon.


"Dalam konteks itu, sulit bagi partai politik yang merumuskan besaran atau persentase ambang batas untuk tidak memiliki benturan kepentingan," tutur Saldi.


Dua hakim konstitusi lain, Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh, memberikan dissenting opinion. Suhartoyo mengungkapkan, sebagaimana tertulis dalam putusan, dua hakim Anwar dan Daniel menilai para penggugat tidak memiliki kedudukan hukum alias legal standing yang kuat. Oleh karena itu, keduanya berpendapat seharusnya gugatan tidak diteruskan ke tahap pokok permohonan.


"Dua hakim tersebut berpendapat bahwa para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing, sehingga statusnya Mahkamah tidak melanjutkan pemeriksaan pada pokok permohonan," ujar Suhartoyo.

Lainnya Untuk Anda